Trump Telepon Xi Jinping: Washington–Beijing Kembali Panas Dingin, Apa yang Sebenarnya Dibahas?

Telepon tengah malam antara Trump dan Xi Jinping kembali menggemparkan dunia — dua raksasa yang kian berseteru itu tiba-tiba berbicara empat mata, memicu spekulasi soal apa yang sebenarnya dipertaruhkan di balik percakapan rahasia tersebut.

Muhamad Rizki Sunarya

11/25/20252 min read

Sumber foto:aa.com/tr

Hubungan dua kekuatan terbesar dunia kembali bergerak. Pada 24 November, Presiden Amerika Serikat Donald Trump resmi berbicara lewat sambungan telepon dengan Presiden China Xi Jinping—percakapan pertama mereka sejak pertemuan di Busan dua bulan lalu.

Seorang pejabat Gedung Putih membenarkan adanya panggilan tersebut pada Sabtu pagi, meski enggan mengungkap isi perbincangannya. Namun Trump langsung memberi bocoran lewat unggahan di media sosial.

“Kami membahas banyak hal—mulai dari konflik Rusia–Ukraina hingga fentanyl, kedelai, dan produk pertanian lainnya,” tulisnya di Truth Social. “Kami telah mencapai kesepakatan penting bagi para petani kita—dan ini baru permulaan.”

Trump juga mengungkap bahwa dirinya menerima undangan Xi untuk berkunjung ke Beijing pada April 2026, sementara Xi dijadwalkan melakukan kunjungan kenegaraan ke AS pada akhir tahun berikutnya.
“Kami sepakat untuk lebih sering berkomunikasi—dan saya menantikannya,” ujar Trump.

China Angkat Isu Taiwan: “Reunifikasi adalah bagian dari tatanan pascaperang”

Dalam rilis resmi Kementerian Luar Negeri China, Xi Jinping kembali menegaskan posisi Beijing atas Taiwan. Ia menyebut “reunifikasi Taiwan” sebagai elemen kunci dari tatanan internasional pasca-Perang Dunia II—meski Partai Komunis China tidak pernah memerintah pulau demokratis tersebut.

China menyatakan bahwa kedua pemimpin juga membahas krisis Ukraina. Xi berharap seluruh pihak dapat menyepakati perjanjian yang “mengikat”, menurut ringkasan tersebut.

Tensi Baru: Beijing–Tokyo Memanas, Washington Turun Tangan

Percakapan Trump–Xi datang di tengah meningkatnya tekanan ekonomi dan diplomatik Beijing terhadap Jepang, buntut pernyataan Perdana Menteri Sanae Takaichi bahwa konflik bersenjata di Selat Taiwan dapat mengancam keamanan Jepang.

Merespons dinamika ini, Washington kembali mempertegas sikapnya.
“Aliansi AS–Jepang tetap menjadi fondasi perdamaian dan keamanan kawasan Indo-Pasifik,” kata juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Tommy Pigott, 20 November.
“Kami menentang segala upaya mengubah status quo—baik dengan kekuatan maupun paksaan—di Selat Taiwan, Laut China Timur, atau Laut China Selatan.”

Deal Perdagangan Mulai Bergerak: Dari Kedelai hingga Mineral Kritis

Trump dan Xi sebelumnya bertemu pada 30 Oktober di sela-sela KTT APEC di Korea Selatan, membahas perjanjian perdagangan yang mencakup kedelai hingga mineral tanah jarang (rare earth).

Tak lama setelahnya, Beijing mengumumkan penangguhan selama setahun atas beberapa aturan kontrol ekspor yang seharusnya mulai diberlakukan 1 Desember—termasuk kewajiban lisensi ekspor untuk produk yang mengandung 0,1% rare earth asal China.

Namun, China tetap bungkam soal larangan ekspor yang dikeluarkan 4 April terkait heavy rare earth seperti samarium, terbium, hingga dysprosium—bahan penting bagi industri pertahanan dan teknologi tinggi.

Sementara itu, Menteri Keuangan AS Scott Bessent menyebut Washington menargetkan finalisasi kesepakatan rare earth dengan Beijing pada 27 November.

Berita Terkait