Teror Berdarah di Bondi: Jejak ISIS, Perjalanan ke Filipina, dan Luka Mendalam Australia

Australia kembali diguncang tragedi. Di pantai paling ikonik Sydney, senjata api berbicara, nyawa melayang, dan dunia bertanya: bagaimana teror bisa menembus jantung negara yang dikenal aman?

Muhamad Rizki Sunarya

12/16/20252 min read

a man in a suit and tie dye dye dye dye dye dye dye dye dye
a man in a suit and tie dye dye dye dye dye dye dye dye dye

Sumber foto:.reuters.com

Polisi Australia mengungkap fakta mengejutkan di balik serangan bersenjata yang menargetkan perayaan Hanukkah di Pantai Bondi, Sydney. Dua pria—ayah dan anak—diduga kuat terinspirasi oleh kelompok teroris Islamic State (ISIS) dan diketahui sempat melakukan perjalanan ke Filipina sebelum melancarkan aksi mematikan yang menewaskan sedikitnya 16 orang.

Serangan pada Minggu lalu itu menjadi penembakan massal terburuk di Australia dalam hampir 30 tahun terakhir dan kini diselidiki sebagai aksi terorisme yang secara spesifik menargetkan komunitas Yahudi.

Salah satu pelaku, Sajid Akram (50), tewas ditembak polisi di lokasi kejadian. Putranya, Naveed Akram (24), yang diduga menjadi kaki tangan dalam serangan tersebut, kini berada dalam kondisi kritis di rumah sakit Sydney setelah turut ditembak aparat.

Kepolisian Federal Australia menyatakan bahwa kedua tersangka diketahui bepergian ke Filipina pada bulan lalu. Tujuan perjalanan itu masih dalam penyelidikan bersama otoritas Filipina, di tengah kekhawatiran atas jaringan ekstremis yang masih aktif—meski melemah—di wilayah selatan negara tersebut, khususnya Mindanao.

“Indikasi awal mengarah pada serangan teroris yang terinspirasi oleh ISIS, dilakukan oleh ayah dan anak,” ujar Komisaris Kepolisian Federal Australia, Krissy Barrett, dalam konferensi pers.
“Ini adalah tindakan individu yang berafiliasi dengan organisasi teroris, bukan tindakan yang mewakili agama apa pun.”

Polisi juga menemukan alat peledak rakitan serta dua bendera buatan tangan yang berkaitan dengan ISIS di dalam kendaraan yang terdaftar atas nama pelaku muda. Selama sekitar 10 menit, keduanya diduga menembaki ratusan orang di area festival, memicu kepanikan massal dan memaksa pengunjung berlarian mencari perlindungan di salah satu destinasi wisata paling ramai di Australia.

Sebanyak 25 korban selamat kini masih menjalani perawatan intensif di sejumlah rumah sakit di Sydney.

Di tengah duka, muncul kisah keberanian. Ahmed al Ahmed (43), seorang ayah dua anak beragama Muslim, menjadi sorotan dunia setelah nekat menerjang salah satu pelaku dan merebut senjatanya. Ahmed kini dirawat akibat luka tembak dan dipuji sebagai pahlawan, termasuk oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Kampanye penggalangan dana untuknya telah mengumpulkan lebih dari A$1,9 juta.

Sementara itu, Pantai Bondi kembali dibuka untuk umum pada Selasa, namun suasana muram menyelimuti area tersebut. Bunga-bunga diletakkan di Paviliun Bondi, hanya beberapa meter dari lokasi penembakan, menjadi simbol duka dan solidaritas.

Tragedi ini juga memicu kembali perdebatan panas soal undang-undang kepemilikan senjata di Australia. Fakta bahwa Sajid Akram adalah pemilik senjata berlisensi dengan enam senjata terdaftar membuat pemerintah federal meninjau ulang efektivitas regulasi yang berlaku.

Korban serangan berasal dari berbagai latar belakang: seorang rabi ayah lima anak, seorang penyintas Holocaust, hingga Matilda Britvan, gadis berusia 10 tahun. Dua anggota polisi masih dalam kondisi kritis namun stabil.

Dalam 16 bulan terakhir, Australia mencatat peningkatan tajam insiden antisemitisme—sebuah tren yang kini diakui kepala intelijen nasional sebagai ancaman serius terhadap keselamatan jiwa.

Bondi, yang biasanya menjadi simbol kebebasan dan wisata, kini menjadi pengingat pahit bahwa teror bisa hadir di mana saja—dan luka yang ditinggalkannya tidak mudah sembuh.

Berita Terkait