Subsidi Listrik Rp210 Triliun: Negara Bayar Mahal, Rakyat Merasa Apa?

Rp210 triliun digelontorkan untuk listrik, tapi tagihan rumah tangga tetap jadi topik sensitif tiap bulan. Negara bilang ini perlindungan, publik bertanya: efek nyatanya ke dompet saya di mana?

Muhamad Rizki Sunarya

12/16/20251 min read

Sumber foto:Sutranesia

Menteri ESDM Bahlil Lahadalia membuka angka besar yang jarang dibedah tuntas. Total subsidi dan kompensasi listrik 2025 menembus Rp210 triliun. Skala angkanya bukan main—ini salah satu pos belanja negara paling jumbo tahun depan.

Skemanya menyasar 37 golongan pelanggan. Rinciannya, 24 golongan menerima subsidi langsung, sementara 13 golongan lainnya mendapat kompensasi. Artinya, tidak semua “dibantu” dengan cara yang sama. Ada yang disubsidi penuh, ada yang sekadar ditahan agar tarif tidak melonjak.

Yang menarik, dari total tersebut, Rp12 triliun dialokasikan khusus untuk diskon tarif listrik sebagai bagian dari stimulus ekonomi 2025. Diskon ini berlaku Maret–Mei. Tiga bulan. Singkat. Fokusnya jelas: dorong daya beli, jaga konsumsi, tahan gejolak ekonomi.

Masalahnya, di level rumah tangga dan UMKM, listrik tetap jadi biaya tetap yang terasa berat. Bagi publik, angka ratusan triliun ini baru relevan kalau benar-benar menurunkan tekanan bulanan—bukan cuma rapi di laporan fiskal.


“Totalnya kurang lebih sekitar Rp210 triliun untuk subsidi dan kompensasi listrik pada 2025,” kata Bahlil dalam Rapat Terbatas di Istana Negara.
Isunya sekarang bukan sekadar besarannya, tapi efektivitas dan sasaran. Apakah subsidi ini tepat ke kelompok yang paling butuh, atau bocor ke konsumsi yang sebenarnya mampu bayar normal? Dengan anggaran segede ini, publik akan makin kritis. Next milestone-nya jelas: transparansi penerima, dampak ke tagihan riil, dan apakah kebijakan ini cuma short-term relief atau solusi struktural.

Berita Terkait