Negara Mengejar Dalang Banjir Sumatera: 31 Perusahaan Terancam Pidana dan Ganti Rugi Lingkungan
Banjir bandang yang melumpuhkan Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat tak lagi dipandang sebagai bencana alam semata. Pemerintah Indonesia kini membidik aktor di baliknya—puluhan perusahaan yang diduga merusak daerah aliran sungai dan meninggalkan jejak kehancuran ekologis


Sumber foto:Antara News
Pemerintah Indonesia meningkatkan tekanan hukum terhadap pihak-pihak yang diduga menjadi penyebab banjir dan longsor di Pulau Sumatera. Sebanyak 31 perusahaan kini masuk radar Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) dan terancam sanksi berlapis—mulai dari pidana, pencabutan izin, hingga kewajiban membayar ganti rugi lingkungan.
Langkah tegas ini diambil menyusul bencana ekologis yang melanda tiga provinsi: Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, yang diduga kuat berkaitan dengan kerusakan daerah aliran sungai (DAS) akibat aktivitas korporasi.
Komandan Satgas Garuda PKH Mayjen Dody Triwinarto mengungkapkan bahwa pemetaan awal telah mengidentifikasi sejumlah perusahaan yang aktivitasnya bersinggungan langsung dengan DAS kritis.
“Untuk Aceh, terdapat sembilan perusahaan yang diduga terimbas langsung dan berkaitan dengan kerusakan DAS,” ujar Dody dalam konferensi pers, Senin (15/12/2025).
Di Sumatera Utara, Satgas mencatat sedikitnya delapan subyek hukum yang diduga terlibat, tersebar di wilayah DAS Batangtoru, Sungai Garoga, dan Langkat. Tak hanya korporasi, kelompok Pemegang Hak atas Tanah (PHT) juga masuk dalam pemetaan.
“Longsor dan banjir di kawasan tersebut tidak lepas dari aktivitas delapan subyek hukum, termasuk PHT,” jelasnya.
Sementara itu, di Sumatera Barat, Satgas PKH menemukan indikasi keterlibatan 14 perusahaan lokal di tiga wilayah DAS yang terdampak banjir dan longsor. Pemetaan ini menjadi pijakan awal untuk menentukan langkah hukum lanjutan.
Pidana, Cabut Izin, hingga Tuntutan Ganti Rugi
Pemerintah menegaskan bahwa penindakan tidak berhenti pada sanksi administratif. Proses pidana disiapkan bagi korporasi yang terbukti bertanggung jawab atas bencana ekologis tersebut.
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung, Febrie Adriansyah, menyatakan Satgas PKH telah melakukan identifikasi awal terhadap dugaan tindak pidana lingkungan.
“Satgas PKH sudah mengambil langkah-langkah identifikasi perbuatan pidana dan akan memastikan siapa yang bertanggung jawab secara pidana atas bencana yang terjadi,” tegas Febrie.
Penegakan hukum dilakukan secara terpadu, melibatkan Bareskrim Polri, Kementerian Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup, serta Kejaksaan Agung. Selain pidana, perusahaan terindikasi melanggar akan menghadapi evaluasi hingga pencabutan izin usaha.
Tak berhenti di sana, pemerintah juga akan menghitung kerugian lingkungan akibat kerusakan yang ditimbulkan. Korporasi yang terbukti bersalah diwajibkan membayar ganti rugi serta melakukan pemulihan lingkungan.
Satu Perusahaan Sudah Diproses
Febrie mengungkapkan, satu perusahaan telah lebih dulu masuk tahap penegakan hukum pidana.
“Bareskrim Polri saat ini menangani satu perusahaan, PT TBS (Tri Bahtera Srikandi), yang diduga terkait langsung dengan banjir bandang di Sumatera,” ujarnya.
Namun, ia menegaskan bahwa proses hukum tidak akan berhenti pada satu nama. Satgas PKH akan terus menelusuri dan menindak seluruh subyek hukum yang terindikasi bertanggung jawab.
Identitas perusahaan, lokasi, dan pola dugaan tindak pidananya sudah dipetakan. Proses akan berjalan, kata Febrie.
Langkah ini menandai babak baru penegakan hukum lingkungan di Indonesia—sinyal bahwa bencana ekologis tak lagi dibiarkan berlalu tanpa pertanggungjawaban.
