Jakarta Bersiap "Hidup Tanpa Status Ibu Kota": Pramono Targetkan Masuk 50 Kota Global Terbaik Dunia pada 2030
Gubernur paparkan peta jalan ambisius untuk transformasi Jakarta menjadi kota kelas dunia—dari peringkat 71 menuju elite global


Sumber foto: Beritajakarta
funij.com — Ketika Jakarta resmi kehilangan status sebagai ibu kota negara, kota berpenduduk lebih dari 10 juta jiwa ini tidak boleh kehilangan relevansinya. Demikian pesan tegas Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung saat membeberkan visi transformasi metropolitan terbesar di Indonesia menuju jajaran kota-kota elite dunia.
"Jakarta harus bersiap diri jika suatu hari tidak lagi menjadi ibu kota negara," ujar Pramono dalam pernyataannya. "Jika itu terjadi, maka Jakarta harus menaikkan standarisasi benchmark-nya seperti kota-kota dunia."
Ambisi itu bukan sekadar retorika. Pramono memasang target konkret: mendorong Jakarta dari peringkat ke-71 saat ini menuju 50 besar Global Cities Index pada tahun 2030—sebuah lompatan yang membutuhkan perbaikan sistematis di hampir seluruh lini perkotaan.
Membaca Posisi Jakarta dalam Peta Global
Global Cities Index, yang disusun oleh konsultan global Kearney, mengukur daya saing kota berdasarkan lima dimensi utama: aktivitas bisnis, sumber daya manusia, pertukaran informasi, pengalaman budaya, dan keterlibatan politik. Di peringkat 71, Jakarta masih tertinggal dari sesama kota Asia Tenggara seperti Singapura (peringkat 6) dan Bangkok (peringkat 39).
Kesenjangan ini, menurut Pramono, bukan hambatan melainkan peta jalan. "Banyak yang perlu diperbaiki," akunya, sembari merinci sektor-sektor prioritas: penurunan angka kemiskinan, pendidikan, infrastruktur, pariwisata, dan transportasi.
Strategi Lima Pilar Menuju Top 50
Untuk mewujudkan target ambisius tersebut, Pramono menggarisbawahi pendekatan multi-sektor yang saling terintegrasi:
1. Menekan Angka Kemiskinan Secara Struktural
Jakarta masih mencatat ratusan ribu penduduk di bawah garis kemiskinan. Pramono mengisyaratkan perlunya program pemberdayaan ekonomi berbasis komunitas, bukan sekadar bantuan sosial yang bersifat temporer.
2. Revolusi Sektor Pendidikan
Peningkatan kualitas sumber daya manusia menjadi kunci agar Jakarta mampu bersaing dalam ekonomi berbasis pengetahuan. Investasi pada pendidikan vokasi dan riset diproyeksikan menjadi fokus utama.
3. Percepatan Infrastruktur Kota
Dari penanganan banjir hingga modernisasi utilitas dasar, infrastruktur menjadi tulang punggung yang menentukan apakah Jakarta layak disebut kota kelas dunia—atau sekadar metropolitan yang kewalahan.
4. Menjadikan Pariwisata sebagai Mesin Ekonomi Baru
Tanpa geliat pusat pemerintahan, Jakarta perlu menciptakan daya tarik baru. Pengembangan destinasi budaya, kuliner, dan MICE (Meeting, Incentive, Convention, Exhibition) menjadi alternatif yang realistis.
5. Transformasi Transportasi Publik
Kemacetan Jakarta yang legendaris adalah musuh utama produktivitas. Integrasi moda transportasi—dari MRT, LRT, hingga TransJakarta—harus mencapai level yang setara dengan standar kota-kota global.
Konteks Lebih Luas: Jakarta Pasca-IKN
Pernyataan Pramono tidak bisa dilepaskan dari proyek pemindahan ibu kota negara ke Nusantara, Kalimantan Timur. Ketika pusat pemerintahan berpindah, Jakarta akan kehilangan sebagian identitas historisnya selama hampir enam dekade sebagai jantung politik Indonesia.
Namun, para pengamat urban menilai ini justru bisa menjadi momentum. Dengan berkurangnya beban sebagai pusat administrasi negara, Jakarta berpotensi lebih fokus pada pengembangan sebagai pusat bisnis, keuangan, dan kebudayaan—mengikuti jejak kota-kota seperti New York, Shanghai, atau Mumbai yang bukan ibu kota namun menjadi episentrum ekonomi nasional.
Jalan Masih Panjang, Waktu Terus Berjalan
Target 2030 menyisakan waktu kurang dari enam tahun. Untuk naik 21 peringkat dalam Global Cities Index, Jakarta membutuhkan lebih dari sekadar program sektoral—ia memerlukan perubahan paradigma dalam tata kelola, kolaborasi lintas pemangku kepentingan, dan yang terpenting: eksekusi yang konsisten.
Apakah ambisi Pramono Anung akan menjadi tonggak kebangkitan Jakarta, atau sekadar target yang menguap di tengah kompleksitas mega-urban? Waktu yang akan membuktikan. Namun satu hal pasti: Jakarta sedang dipaksa untuk mendefinisikan ulang dirinya sendiri—dengan atau tanpa status ibu kota.
