Inggris Naikkan Pajak ke Level Tertinggi Sejak Perang Demi Selamatkan Keuangan Negara
Ketika dompet warga makin tipis, pemerintah Inggris justru menarik lebih keras. Inilah langkah besar Rachel Reeves yang bikin Eropa menoleh dan investor menghitung ulang risikonya.


Sumber foto:reuters
Menteri Keuangan Inggris, Rachel Reeves, pada Rabu mengumumkan paket kenaikan pajak terbesar dalam beberapa dekade—sebuah manuver berani untuk memperkuat ruang fiskal dan menjaga target penurunan defisit tetap di jalur yang ia janjikan.
Lewat anggaran terbaru ini, pemerintah akan menarik lebih banyak dana dari para pekerja, penabung pensiun, hingga para investor. Tujuannya satu: memberi fleksibilitas fiskal yang lebih luas di tengah ekonomi yang melambat.
Namun kabar kurang menyenangkan datang dari Office for Budget Responsibility (OBR). Lembaga pengawas fiskal itu menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Inggris untuk beberapa tahun ke depan—sebuah pukulan bagi Perdana Menteri Keir Starmer, yang tahun lalu menjanjikan percepatan ekonomi pada pemilih.
Meski begitu, ada secercah optimisme. OBR menyebut langkah kenaikan pajak ini justru memberi pemerintahan Starmer lebih dari dua kali lipat "bantal keamanan" untuk mencapai target fiskal, sebuah indikator yang diamati ketat oleh investor global dalam menilai risiko utang Inggris.
Menariknya, proyeksi OBR sempat terpublikasikan lebih awal karena kesalahan teknis, bahkan sebelum Reeves menyampaikan pidato anggaran di parlemen—dan pertama kali bocor melalui Reuters. Dalam dokumen itu tertulis bahwa total kenaikan pajak akan mencapai 26,1 miliar pound (sekitar 34,5 miliar dolar) per tahun.
Dampaknya besar: rasio pajak terhadap PDB Inggris naik menjadi 38,3%, level tertinggi sejak Perang Dunia II. Meski begitu, angka ini masih berada di bawah rata-rata zona euro yang mencapai 41% tahun lalu.
Padahal tahun lalu, Reeves sudah menaikkan pajak sebesar 40 miliar pound—lonjakan terbesar sejak 1990-an—dan menyebutnya sebagai kebijakan “sekali saja”. Kini, kebijakan serupa kembali diketuk.
Reeves menegaskan:
“Tidak diragukan, kita akan kembali menghadapi oposisi. Tapi hingga kini, saya belum melihat rencana alternatif yang lebih kredibel—atau lebih adil—untuk rakyat pekerja.”
