Hukum Pidana vs Perdata: Perbedaan dan Contohnya 2025
ARTIKELHUKUM


Hukum pidana vs perdata, apa perbedaannya? Simak penjelasan lengkap dengan contoh kasus nyata dan perbandingan hukum terbaru 2025.
1. Pengertian Hukum Pidana dan Perdata
Hukum pidana dan perdata merupakan dua cabang utama dari sistem hukum yang memiliki fokus dan tujuan yang berbeda.
Hukum pidana mengatur perbuatan-perbuatan yang dianggap melanggar norma sosial dan dapat mengakibatkan sanksi seperti denda atau penjara bagi pelaku. Contoh pelanggaran pidana termasuk pembunuhan, pencurian, dan penipuan, yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dan menjaga ketertiban umum.
Hukum perdata mengatur hubungan antara individu atau badan hukum, dengan fokus pada hak dan kewajiban yang timbul dari perjanjian, warisan, dan sengketa bisnis. Dalam konteks ini, hukum perdata memberikan mekanisme penyelesaian dalam interaksi antara pihak-pihak yang terlibat secara pribadi, tanpa melibatkan negara sebagai penggugat. Keduanya memiliki peranan penting dalam menjaga keadilan dan ketertiban di masyarakat.
2. Hukum Pidana vs Perdata: Perbedaan dan Contohnya 2025
Hukum pidana dan hukum perdata memiliki perbedaan mendasar dalam sifat pelanggaran dan tujuan.
Hukum Pidana
Aspek
Sifat Pelanggaran: Mengancam ketertiban umum
Pihak yang Menggugat: Negara melalui jaksa
Sanksi: Denda, kurungan, hukuman mati
Contoh Kasus: Pembunuhan, korupsi, pencurian
Tujuan: Memberikan efek jera, menjaga ketertiban
Dasar Hukum: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Proses Hukum: Ditangani oleh kepolisian dan jaksa, melalui pengadilan pidana
Dampak: Hukuman fisik dan administratif
Hukum Perdata
Aspek
Sifat Pelanggaran: Menyangkut kepentingan individu
Pihak yang Menggugat: Individu atau badan hukum
Sanksi: Ganti rugi, pembatalan kontrak
Contoh Kasus: wanprestasi, perceraian, sengketa tanah
Tujuan: Memulihkan hak yang dilanggar
Dasar Hukum: kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)
Proses Hukum: Digugat oleh individu atau badan hukum di pengadilan perdata
3. Contoh Kasus Hukum Pidana dan Perdata
1. Contoh Kasus Hukum Pidana: Pencurian
Kasus: Seorang pria bernama A ditangkap oleh polisi karena tertangkap tangan sedang mencuri barang-barang elektronik di sebuah toko. Tindakan ini jelas melanggar hukum pidana karena pencurian merupakan tindak pidana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia, tepatnya dalam Pasal 362 KUHP.
Peristiwa yang Terjadi:
Pencurian: A datang ke sebuah toko elektronik di pusat perbelanjaan pada malam hari. Saat toko sudah tutup dan tidak ada orang di dalam, Andi memanfaatkan kesempatan ini untuk memasuki toko dan mengambil beberapa barang elektronik tanpa izin dari pemiliknya. Barang-barang tersebut termasuk laptop dan ponsel yang nilainya cukup tinggi.
Tertangkap: Kebetulan, toko tersebut dilengkapi dengan kamera pengawas (CCTV), yang merekam aksi A sedang mengambil barang-barang tersebut. Pada saat A keluar dari toko, petugas keamanan melihat gerak-geriknya yang mencurigakan dan langsung menghentikan A, kemudian melakukan pemeriksaan. Petugas menemukan barang hasil curian di dalam tas A.
Penyidikan: Polisi datang untuk mengamankan A. A kemudian dibawa ke kantor polisi untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Dalam penyidikan, A mengakui perbuatannya dan menyatakan bahwa ia nekat mencuri karena kebutuhan ekonomi yang mendesak.
Proses Hukum:
Penyidikan: Polisi melakukan pemeriksaan terhadap A dan mengumpulkan bukti-bukti yang ada, termasuk rekaman CCTV, barang bukti hasil curian, serta keterangan saksi, yaitu petugas keamanan dan pemilik toko. Andi ditetapkan sebagai tersangka pencurian.
Proses Persidangan: Setelah penyidikan selesai, berkas perkara diserahkan ke kejaksaan untuk diproses ke pengadilan. Dalam persidangan, jaksa penuntut umum menghadirkan bukti-bukti yang telah dikumpulkan dan meminta hakim untuk menjatuhkan hukuman terhadap A berdasarkan Pasal 362 KUHP tentang pencurian.
Pembelaan: A mengajukan pembelaan bahwa tindakannya dilakukan karena terdesak kebutuhan hidup dan tidak bermaksud jahat. Namun, dalam hukum pidana, faktor niat (mens rea) dan perbuatan (actus reus) tetap dihukum jika telah terbukti jelas melanggar hukum.
Putusan Pengadilan: Setelah mempertimbangkan fakta-fakta yang ada, hakim memutuskan bahwa A terbukti bersalah melakukan tindak pidana pencurian dan menjatuhkan hukuman penjara selama 1 tahun berdasarkan ketentuan Pasal 362 KUHP. Selain itu, A juga diwajibkan untuk mengembalikan barang-barang yang dicuri atau mengganti kerugian pemilik toko jika barang tidak dapat ditemukan.
Pasal Tindak Pidana yang Dilanggar:
Pasal 362 KUHP: "Barang siapa dengan sengaja mengambil barang milik orang lain dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah."
Sanksi Pidana:
Ancaman Pidana Penjara: A dikenakan hukuman penjara selama 1 tahun, yang merupakan bentuk sanksi hukum untuk memberikan efek jera dan menjaga ketertiban masyarakat.
Tanggung Jawab Ganti Rugi: Selain hukuman penjara, A diwajibkan untuk mengembalikan barang yang dicuri atau memberikan ganti rugi atas kerugian yang dialami oleh pemilik toko.
2. Contoh Kasus Hukum Perdata: Gagal Membayar Utang
Kasus: Seorang pengusaha, sebut saja B, menjalankan usaha distribusi barang elektronik. B membuat perjanjian dengan seorang rekan bisnisnya, R, untuk melakukan transaksi pembelian barang dengan pembayaran yang dilakukan dalam dua tahap: pertama, pembayaran 50% di muka, dan sisanya 50% setelah barang diterima dan diperiksa. Namun, setelah barang diterima, B gagal membayar sisa utang sesuai dengan kesepakatan.
Peristiwa yang Terjadi:
Perjanjian Tertulis: B dan R menandatangani kontrak yang mengatur tentang pembelian barang, jumlah pembayaran, dan tenggat waktu pembayaran yang jelas.
Gagal Membayar: Setelah beberapa bulan, B tidak kunjung membayar sisa utang tersebut meskipun barang yang diterima sudah sesuai pesanan. R telah mengirimkan beberapa surat pengingat dan mencoba menghubungi B, tetapi tidak ada tanggapan positif.
Tindakan Hukum: Karena perjanjian tersebut merupakan perikatan yang sah menurut hukum perdata, R merasa dirugikan oleh kelalaian B. Oleh karena itu, R mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri untuk meminta pemulihan kerugian akibat wanprestasi (gagal memenuhi kewajiban dalam perjanjian).
Proses Pengadilan:
Penyampaian Gugatan: R menggugat B melalui pengacara dengan membawa bukti perjanjian, bukti pembayaran tahap pertama, serta bukti komunikasi yang menunjukkan usaha R untuk mengingatkan B.
Sidang Perdata: Dalam sidang pengadilan, B diberikan kesempatan untuk membela diri. Namun, karena tidak ada alasan sah untuk menghindari kewajiban pembayaran dan terbukti ada wanprestasi, hakim memutuskan untuk menyatakan B harus membayar sisa utangnya beserta bunga sesuai dengan kesepakatan dalam kontrak.
Ganti Rugi: Selain itu, R juga meminta ganti rugi atas kerugian yang ditimbulkan akibat keterlambatan pembayaran, misalnya biaya operasional yang harus dikeluarkan untuk menutupi kerugian selama periode tunggakan. Hakim memutuskan bahwa B wajib mengganti rugi sebesar sejumlah uang yang telah ditetapkan.
Putusan:
B diwajibkan membayar seluruh utang yang tertunggak, ditambah bunga sesuai kesepakatan dalam perjanjian.
B juga diharuskan membayar ganti rugi kepada R karena mengalami kerugian akibat kelalaian dalam pembayaran utang.
Pelajaran Hukum: Kasus ini menunjukkan bahwa dalam hukum perdata, wanprestasi atau pelanggaran terhadap perjanjian dapat menimbulkan kewajiban ganti rugi. Setiap pihak dalam perjanjian memiliki hak untuk menuntut pemulihan atas kerugian yang ditimbulkan akibat pelanggaran tersebut.
4. Menurut Ahli
Dalam dunia hukum, seringkali kita dihadapkan pada realitas bahwa hukum merupakan produk dari politik, sebagaimana diungkapkan oleh Mahfud MD. Pemikiran ini diperkuat oleh Buya Hamka, yang menekankan bahwa keberanian tertinggi adalah berani mengambil tindakan demi menegakkan keadilan, meskipun harus mengorbankan kepentingan pribadi. Hal ini sejalan dengan pandangan Baharuddin Lopa, yang dengan tegas menyatakan pentingnya menjunjung tinggi hukum dan keadilan, bahkan dalam situasi yang sulit, serupa dengan kapal yang terancam karam. Keseluruhan pemikiran ini mengingatkan kita akan tanggung jawab moral untuk selalu berpegang kepada prinsip keadilan, meski tantangan dan risiko terus menghadang. Hukum dan keadilan hendaknya tetap diutamakan, sebagai fondasi dari masyarakat yang beradab dan berkeadilan.
5. Kesimpulan:
Hukum pidana dan perdata memiliki perbedaan yang sangat mendasar dalam hal subjek dan tujuan hukumnya. Hukum pidana berfokus pada penegakan ketertiban dan keselamatan masyarakat dengan ancaman hukuman yang dapat berupa penjara atau denda, yang diterapkan pada individu yang melanggar norma-norma hukum. Sebaliknya, hukum perdata berfungsi untuk menyelesaikan sengketa antara individu atau badan hukum, dengan sasaran utama adalah pemulihan hak atau ganti rugi bagi pihak yang dirugikan. Dalam konteks ini, sanksi yang diberikan dalam hukum perdata tidak bersifat hukuman, melainkan kompensasi yang bertujuan untuk mengembalikan keadaan ke posisi semula. Memahami perbedaan ini sangat penting bagi masyarakat agar mereka dapat mengetahui hak dan kewajiban mereka dalam menghadapi berbagai situasi hukum yang ada.
6. Referensi:
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) Indonesia
Prof. Sudikno Mertokusumo, "Pengantar Ilmu Hukum" (2023)
Catatan Penting
Integrasi teknologi harus seimbang dengan peningkatan kapasitas SDM.
Prioritas keberlanjutan tidak hanya mengurangi biaya, tetapi juga meningkatkan reputasi merek.
Gunakan kolaborasi dengan startup teknologi untuk akses inovasi terbaru.