Eropa di Ujung Senja: Dari Pusat Peradaban Menjadi Penonton Sejarah

Puluhan tahun lalu, seorang novelis Prancis menulis tentang kemunduran Eropa. Hari ini, ramalannya terdengar bukan lagi sastra—melainkan laporan keadaan.

Muhamad Rizki Sunarya

12/17/20253 min read

a large building with a large arch in the middle of it
a large building with a large arch in the middle of it

Sumber foto:callista tour

Di antara para penulis Eropa kontemporer, nama Michel Houellebecq nyaris tak pernah diasosiasikan dengan optimisme. Selama lebih dari tiga dekade, karya-karyanya dipenuhi satu benang merah: kemerosotan manusia yang tak terelakkan—dari degradasi budaya digital hingga rapuhnya peradaban Eropa itu sendiri.

“Prancis telah menyerah pada gagasan kemajuan,” tulisnya pada 2014. “Kita bukan hanya turis di negeri sendiri, tetapi juga peserta yang rela dalam industri pariwisata.”

Kini, kata-kata itu terdengar seperti nubuat kelam. Pertumbuhan ekonomi Eropa—yang lama tersendat—nyaris berhenti total. Bahkan Jerman, raksasa industri benua itu, mulai terhuyung. Dinamisme lenyap, digantikan ketergantungan yang menyakitkan: teknologi dari Amerika Serikat, mineral strategis dari China. Transformasi Eropa menjadi “taman bermain wisata” tak lagi sekadar spekulasi muram—ia menjelma realitas ekonomi.

Namun kemunduran ini perlu dibaca dengan jernih. Ketidakmampuan Uni Eropa menciptakan “Silicon Valley versi sendiri” atau perbandingan PDB dengan negara berpenduduk miliaran bukanlah bukti tunggal keruntuhan. Meski begitu, sulit menyangkal bahwa Eropa telah mengalami apa yang oleh filsuf Jerman Hans-Georg Gadamer sebut sebagai provincialization—menyusutnya peran global.

Negosiasi untuk mengakhiri perang di Ukraina memperjelas posisi itu: Uni Eropa kian terpinggirkan menjadi aktor kelas dua dalam urusan dunia. Di mata Presiden Donald Trump, Eropa bahkan digambarkan sebagai “membusuk” dan terancam “penghapusan peradaban.”

Bagi warga Eropa, semua ini terasa mengancam. Namun penurunan status tidak harus berujung trauma. Justru, pengakuan jujur atas kemunduran—kultural, politik, dan terutama ekonomi—bisa melahirkan sikap yang lebih rendah hati dan realistis. Setelah satu abad berada di kursi pengemudi sejarah dengan hasil yang ambigu, mungkin Eropa akhirnya terbebas dari neurosis untuk selalu menguasai segalanya.

Setidaknya, kini Brussels tak lagi menyangkal. Kesadaran bahwa Eropa tertinggal mulai merata di seluruh spektrum politik. Pengakuan paling gamblang datang dari Mario Draghi, mantan Presiden Bank Sentral Eropa. Dalam laporan tajamnya tahun lalu, sosok yang berjasa menyelamatkan euro itu memaparkan penyakit kronis ekonomi Eropa: daya saing lemah dan produktivitas yang tertinggal.

Masalahnya, banyak “obat” yang ditawarkan justru berpotensi memperparah penyakit. Sayap kanan menawarkan solusi lama: menutup benua dengan pagar rasial. Kelompok tengah berbicara samar tentang kebangkitan lewat militerisasi dan teknologi. Sementara kiri terbelah antara mengutuk ambisi Eropa atau justru merayakan kemundurannya. Yang dibutuhkan adalah politik baru tentang kemunduran—meminjam istilah sejarawan Eric Hobsbawm—yang mampu melihat ke dalam dan ke luar secara bersamaan.

Di dalam negeri, itu berarti memutus obsesinya terhadap penghematan anggaran yang mencengkeram pembuat kebijakan sejak 1990-an. Sejarawan ekonomi Adam Tooze bahkan menyebut teknokrat Uni Eropa sebagai “Taliban neoliberalisme” karena kesetiaan buta pada pasar di era ketika dogma itu kian usang. Melonggarkan aturan fiskal dan mendorong investasi publik serius menjadi kunci mengejar ketertinggalan.

Secara politik, hal itu menuntut sentralisasi dan penggabungan kedaulatan—langkah radikal bagi Eropa yang terbiasa terfragmentasi. Tanpa proyek bersama yang sungguh-sungguh dan akuntabilitas demokratis, kebangkitan hanyalah slogan kosong.

Di luar negeri, Eropa perlu menata ulang prioritas kebijakan luar negerinya. Harapan untuk mandiri dari Amerika Serikat dalam satu dekade terakhir terbukti ilusif. Ketergantungan justru makin dalam. Ironisnya, membeli senjata dan energi Amerika dalam jumlah besar tak akan menjadikan industri Eropa kembali unggul.

Jika ingin menemukan kembali dirinya, Eropa harus berpikir lebih heterodoks—termasuk sesuatu yang selama ini tabu di Brussels: integrasi kritis dengan China. Kerja sama ini penting, terutama dalam isu perubahan iklim yang kini banyak dipimpin Beijing. Namun ia harus bersyarat—tanpa tunduk, tanpa menutup mata terhadap rekam jejak China soal perdagangan dan hak buruh. Kontrol ekspor bisa berjalan beriringan dengan kolaborasi.

Eropa juga bisa belajar dari Inggris, contoh klasik kemunduran abad ke-20. Pasca runtuhnya imperium, Inggris dihadapkan pada dua pilihan: menjadi “pelayan” Amerika Serikat atau menjelma “Swedia versi besar” dengan industri kuat dan otonomi diplomatik. Inggris memilih jalur pertama—mengorbankan kemandirian demi hubungan istimewa.

Eropa tak harus mengulang kisah itu. Tak lagi duduk di kursi pengemudi sejarah, benua ini bisa menanggalkan ilusi kebesarannya. Dalam geopolitik dan mitigasi iklim, target masih bisa tercapai meski bukan sebagai bintang utama. Ambisinya perlu disesuaikan: bukan juara liga, melainkan stabilitas papan tengahmidtable stability, seperti istilah penggemar sepak bola Inggris.

Kadang, bertahan dengan martabat jauh lebih realistis daripada mengejar kejayaan yang telah berlalu.

Berita Terkait