Botak Bukan Lagi Soal Gaya: Usulan Presiden Korea Selatan Picu Debat soal Asuransi, Defisit, dan Tekanan Sosial Anak Muda

Di Korea Selatan, rambut rontok kini diperdebatkan setara dengan isu kesehatan publik. Ketika Presiden Lee Jae Myung menyebut kebotakan sebagai “masalah bertahan hidup” bagi anak muda, ia bukan hanya menyentuh kulit kepala jutaan warga—tetapi juga membuka perdebatan sensitif tentang prioritas negara, keadilan sosial, dan masa depan sistem jaminan kesehatan.

Muhamad Rizki Sunarya

12/22/20253 min read

Sumber foto:WWLP

Presiden Korea Selatan Lee Jae Myung memerintahkan pemerintahannya untuk mempertimbangkan perluasan cakupan asuransi kesehatan nasional agar mencakup perawatan rambut rontok. Dalam pengarahan kebijakan pada Selasa, Lee berargumen bahwa kebotakan—terutama di kalangan generasi muda—tak lagi semata persoalan kosmetik, melainkan menyangkut kelangsungan hidup sosial dan psikologis.

Usulan tersebut segera memicu reaksi keras. Kalangan medis dan tokoh konservatif menilai kebijakan ini berisiko menyimpang dari prinsip dasar asuransi kesehatan, terutama di tengah tekanan finansial yang kian berat pada sistem jaminan nasional Korea Selatan.

Dari Medis ke Psikologis

Saat ini, skema asuransi kesehatan universal Korea Selatan—yang dibiayai premi berbasis pendapatan—hanya menanggung perawatan rambut rontok akibat kondisi medis tertentu, seperti alopecia areata. Perawatan untuk kebotakan pola pria, yang paling umum, masih dikecualikan.

Lee menilai pengecualian itu menciptakan rasa ketidakadilan. “Ada anak muda yang merasa tidak adil karena mereka membayar premi, tetapi tidak bisa menerima manfaat,” ujarnya. Ia menambahkan bahwa “rasa keterasingan” di kalangan mereka telah menjadi serius.

Pernyataan ini menghidupkan kembali gagasan lama Lee. Ia pernah mengusulkannya saat kampanye pemilihan presiden 2022—yang berakhir dengan kekalahan—dan kala itu dicap sebagai populisme. Dalam platform pemilu terbarunya, isu ini sempat ditinggalkan, sebelum kini kembali mencuat.

Budaya Penampilan yang Menekan

Perdebatan ini menyoroti obsesi Korea Selatan terhadap penampilan fisik. Survei 2024 terhadap kaum muda menunjukkan 98% responden percaya bahwa orang yang menarik secara fisik memperoleh keuntungan sosial.

Tekanan itu paling berat dirasakan perempuan, dengan standar ketat soal riasan, perawatan kulit, dan bentuk tubuh. Bagi pria, isu ini lebih jarang dibicarakan secara terbuka, tetapi tetap nyata: dari menyiasati garis rambut yang menipis dengan poni panjang hingga menempuh perawatan mahal—bahkan transplantasi rambut.

Industri perawatan rambut rontok di Korea Selatan diperkirakan bernilai sekitar 188 miliar won pada 2024. Kelompok industri mengklaim sekitar 10 juta dari 51 juta penduduk mengalami rambut rontok, meski angka ini belum pernah diverifikasi secara resmi. Produk sampo anti-rontok sangat populer, walau sebagian menuai kritik karena klaim efektivitas yang berlebihan.

Waktu yang Sensitif

Momentum usulan Lee dianggap problematik. Proyeksi internal menunjukkan sistem asuransi kesehatan nasional berpotensi mencatat defisit hingga 4,1 triliun won pada 2026.

Asosiasi Medis Korea menyatakan skeptisisme tegas. “Alih-alih menginvestasikan dana asuransi kesehatan untuk perawatan rambut rontok, memprioritaskan kanker dan penyakit serius lainnya akan lebih sejalan dengan prinsip asuransi kesehatan,” kata organisasi berpengaruh itu.

Nada serupa terdengar dari media konservatif. Harian Chosun Ilbo menulis bahwa “ini bukan sesuatu yang seharusnya diinstruksikan presiden secara tiba-tiba tanpa menghimpun pendapat warga yang membayar premi.”

Menteri Kesehatan Jeong Eun Kyeong juga menyampaikan kehati-hatian. Ia menafsirkan pernyataan Lee tentang “bertahan hidup” sebagai merujuk pada kepercayaan diri anak muda saat mencari kerja dan dampaknya terhadap kesehatan mental. Ditanya apakah perluasan cakupan akan berdampak signifikan pada keuangan asuransi, Jeong menjawab singkat: “Saya rasa iya,” seraya menekankan perlunya analisis komprehensif.

Antara Empati dan Prioritas

Kritik personal pun bermunculan. Mantan anggota parlemen konservatif Yoon Hee-sook—yang kerabatnya tengah menjalani pengobatan kanker—menulis di Facebook bahwa meski ia bersimpati pada stres akibat rambut rontok, “memprioritaskan perawatan yang terkait langsung dengan kehidupan dan fungsi tubuh adalah konsensus sosial saat ini.”

Di sisi lain, ada pula dukungan simbolik. Park Joo-min, anggota parlemen dari partai berkuasa yang terbuka soal transplantasi rambutnya dan dikenal vokal mengadvokasi isu ini, menulis singkat di X: “Benar-benar Korea!”—sebuah seruan yang dibaca sebagai persetujuan.

Agenda Populis atau Respons Sosial?

Kontroversi ini tak berdiri sendiri. Pada Jumat, Lee juga memerintahkan komisi perdagangan adil untuk menyelidiki harga pembalut menstruasi, yang menurutnya 39% lebih mahal dibanding negara lain karena dugaan praktik monopolistik.

Dua instruksi itu menegaskan gaya kepemimpinan Lee: responsif terhadap keluhan keseharian warga, namun berisiko memantik tudingan populisme dan benturan dengan realitas fiskal.

Pertanyaannya kini bukan semata apakah rambut rontok layak ditanggung negara, melainkan bagaimana Korea Selatan menimbang ulang definisi kesehatan—antara medis, mental, dan sosial—di tengah sumber daya yang terbatas dan tekanan budaya yang tak kunjung reda.

Berita Terkait